Cari Blog Ini

Selasa, 06 Oktober 2009

Penghargaan Batik hanyalah Cambuk

image

PENERIMAAN batik Indonesia dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) membuat bangsa Indonesia bersuka-cita. Di tengah kegembiraan itu, Iwan Tirta
melihat celah muram masa depan batik Indonesia. Mengapa?
Berikut perbincangan ndengan maestro batik Indonesia itu
di Jalan Panarukan No 25, Menteng, Jakarta Pusat.

Apa makna penghargaan ini bagi Anda?
Penghargaan ini bisa jadi bahaya. Memang ini suatu penghormatan, tapi rakyat Indonesia sendiri tidak tahu mana yang harus dilindungi. UNESCO hanya mau melindungi batik yang betul-betul tradisional dan hasil tangan. Bukan batik fractal. Batik fractal itu palsu, menipu orang. Saya prihatin sekarang ini sudah tidak banyak orang tahu soal batik.
Meski sekarang batik mulai digunakan di berbagai kesempatan, tetapi tidak banyak yang bisa membedakan apakah itu batik atau tekstil dengan motif mirip batik. Orang Jawa kebanyakan bisa membedakan mana yang batik, mana yang tekstil mirip batik. Akan tetapi di luar itu banyak yang tidak tahu. Kalau soal motif batik, banyak orang Jawa tidak tahu motif batik Jawa. Orang Sunda juga tidak tahu motif batik Sunda.
Aduh kok muram amat pendapat Anda?
Bagi saya penghargaan itu sebagai cambuk. Kita dicambuk oleh dunia luar supaya memperhatikan pusaka kebudayaan kita. Itulah gunanya. Lalu ada lagi, katanya ada yang membuat batik 600 meter, memecahkan rekor Muri, padahal itu bukan batik. Itu cap. Lagipula buat apa bikin batik ratusan meter, dipertontonkan kepada rakyat juga tidak, dimasukkan ke museum juga tidak? Hanya mau menangkap publisitas dari media.
Kita masih tidak memahami esensi dari penghargaan itu sendiri. Mestinya penghargaan itu membuat kita sadar untuk semakin mencintai dan melestarikan batik. Bukan hanya motif batik, tetapi yang lebih penting adalah karya seni bercita rasa tinggi yang bernama batik itu. Batik itu sarat dengan teknik, simbol dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.
Kalau begitu, apa yang kita lakukan setelah mendapat penghargaan ini?
Nah itu yang penting, bagaimana follow up-nya. Siapa yang harus melindungi, apakah Departemen Perdagangan dan Perindustrian atau Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Jangan-jangan, hanya hura-hura sesaat, nanti, besok, lusa sudah lupa. Pertanyaan penting juga dalam upaya pelestarian batik ini adalah, apakah sekarang batik diajarkan di sekolah, di taruh di perangko? Tidak kan? Mestinya taruh di perangko batik, selenggarakan ceramah tentang batik. Perkenalkan batik pada anak-anak melalui pendidikan. Bintang sinetron yang pakai batik jarang. Krisdayanti atau Titi DJ lenggak-lenggok nggak pernah pakai batik.
Nah, Presiden juga pakai batik yang paling murah. Saya tidak setuju. Sebagai kepala negara harus menampilkan yang terbaik dari bangsanya. Dan juga batik mestinya dipakai upacara-upacara resmi. Gak usah pakai batik untuk tidur.
Jadi mesti ada perombakan...
Kita sebagai orang Indonesia harus tahu apa sebenarnya batik itu. Yang banyak beredar sekarang ini kan tekstil bermotif mirip batik dan bukan batik yang sesungguhnya. Batik itu sesungguhnya teknik menghiasi permukaan tekstil dengan cara menahan pewarna. Teknik ini dijumpai dimana saja di Afrika, Amerika, Asia dan Eropa. Di Indonesia yang khas adalah canting untuk mengoles malam yang dapat menahan pewarna tadi. Sementara motifnya memiliki makna dan arti bahkan doa. Sehelai kain batik tradisional Jawa adalah sebuah karya yang tidak ada duanya. Kain itu dipercaya memiliki sukma yang dititipkan oleh pembatiknya demi kebaikan pemakainya. Seperti misalnya motif truntum yang dibuat oleh Kanjeng Ratu Beruk, istri Sunan Paku Buwono III dari Surakarta, sekitar akhir abad ke-18. Suatu hari Ratu Beruk sedang membatik. Mungkin kegiatan membatiknya itu adalah sebuah meditasi, akibat duka hatinya yang mendalam karena Sunan sudah lama mengabaikannya. Begitu asyiknya membatik, hingga ia tidak mendengar langkah kaki Sunan yang mendekat. Sunan bertanya, ''Apa nama corak yang sedang kau batik itu?''. Ratu menjawab, ''Belum saya beri nama.'' Pada saat itu, Sunan dan Ratu merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka, seakan kedekatan mereka terpulihkan. Kemudian, setelah tahap pewarnaan selesai, Ratu Beruk teringat, ketika ia menggoreskan malam di atas mori membentuk motif hias, kasih sayang Sunan bersemi kembali. Itulah sebabnya Ratu menamakan desain batiknya Truntum, yang artinya tumbuh dan berkembang.
Apalagi yang harus dilakukan?
Masalah pengelolaan perusahaan juga harus diubah gayanya. Tidak bisa lagi perusahaan batik dikelola secara kekeluargaan. Untuk mengembangkan batik dibutuhkan pendidikan dan riset. Bukan dalam pengelolaan perusahaan saja, tetapi juga bagaimana mendesain sebuah motif.
Perlu dibuka sekolah khusus batik?
Iya, harus ada sekolah khusus untuk batik. Paling tidak anak-anak sekolah mendapat pelajaran soal batik.
Perjuangan membatikkan Indonesia atau mengindonesiakan batik apakah sudah berhasil?
Oh masih jauh. Perjuangan itu juga harus dilakukan secara terpadu. Departemen Keuangan mestinya memberi fasilitas untuk perajin batik, bisa berupa pajak atau kredit, sementara departemen lain kasih fasilitias untuk pembelian bahan, obat-obatan. Semua juga harus dipimpin oleh bapak-bapak juga, jangan ibu doang. Yayasan ini itu biasanya diketuai oleh ibu-ibu, mengelola organisasi tapi sambil menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Nggak bisa begitu. Harus full time, digaji, siapa yang nggak baik, keluar. Selama ini kan organisasi semacam itu diketuai oleh ibu-ibu pejabat.
Bagaimana supaya batik tidak hanya menjadi warisan budaya dunia, tetapi dipakai oleh warga dunia?
Promosi harus dilakukan secara terus-menerus. Cerita tentang batik juga perlu terus disampaikan kepada warga dunia. Seniman batik juga harus mampu mengikuti perkembangan tren mode dunia dan memadukan dengan motif-motif batik yang indah. Batik harus bisa ditampilkan sebagai sebuah adi busana, sebagaimana yang saya lakukan selama ini. Saya membatik tidak hanya pada jenis tekstil yang sudah ada tetapi melakukan sejumlah eksperimen dengan membatik di atas kain-kain seperti sutera bahkan beludru. Hasilnya batik bercitarasa internasional. Bisa diterima warga dunia.
Apa keterlibatan utama Anda dalam menyosialisasikan batik ke luar negeri?
Saya juga melibatkan diri dalam mengawasi tahapan proses pembuatan demi memperoleh hasil seperti yang saya inginkan. Orang kemudian menamakan kain batik karya saya, batik Iwan Tirta. Sebuah genre batik tradisional Jawa yang baru. Motif-motifnya kuno, warnanya tradisional, tetapi berpenampilan baru, lebih menojol, lebih tajam, lebih percaya diri dan lebih anggun. Saya melakukan berbagai diplomasi melalui batik ke seluruh dunia. Saya merancang batik untuk Bill Gates saat berkunjung ke Jakarta, untuk pasangan Presiden Ronald Reagan dan istrinya, Nancy saat menjamu Presiden Suharto dan Ibu Tien di sebuah perjamuan makan di Bali. Presiden Reagan secara khusus meminta saya merancang busana batik untuk memberi kejutan kepada Presiden Suharto. Saya juga merancang batik untuk para kepala negara/pemerintahan peserta APEC 1994. Saya pelajari karakter setiap negara dan menggubah batik sesuai kekhasan negara masing-masing. Saya membawa batik menjadi sebuah adibusana untuk pagelaran-pagelaran internasional.
Sayang motif batik saya ditiru oleh pembatik. Tetapi itu kemudian justru memicu saya untuk belajar membatik. Saya mungkin satu-satunya perancang batik yang bisa membatik sendiri. Tubuh saya pernah terbakar karena eksperimen yang saya lakukan untuk mendapat hasil batik terbaik pada berbagai jenis kain. Lukanya menjadi kenangan-kenangan seumur hidup buat saya.
Beberapa waktu terakhir Malaysia mengklaim batik sebagai milik mereka. Menurut Anda?
Batik Jawa memiliki kekuatan yang menjadi dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting. Kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris nongeometris. Ketiga jalinan erat dengan budaya lain; dan ketidakterikatan dengan satu agama tertentu. Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain. Hanya untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset. (35)

IWAN TIRTA. Nama lahir: Nusjirwan Tirtaamidjaja, Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935. Pendidikan: Fakultas Hukum UI (1953-1959), London School of Oriental and African Studies, London University, Inggris (1959-1961), Master of laws, Yale University, New Haven, Connecticut, AS (1964-1967), dan Fellowship dari Yayasan Adlai Stevenson di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Riwayat Pekerjaan: staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1959-1971) dan disainer batik (1960-sekarang). Penghargaan: Anugerah Karya Cipta Putera Bangsa Bank Bumiputera, Oktober 2001.

(Tresnawati/)

Wawancara

04 Oktober 2009 | 19:43 wib
Iwan Tirta:

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2009/10/04/450/Penghargaan.Batik.hanyalah.Cambuk

Tidak ada komentar: